Filsafat Bahasa
A.
Spekulasi Asal Usul Bahasa
Orang mulai menanyakan asal mula bahasa ketika ada persoalan
mengenai hubungan antara kata dan makna, tanda dan yang ditandaI, hakikat
makna, dan perbedaan makna kata yang mengakibatkan kesalahpahaman. Para ahli
lebih memberikan perhatian pada bentuk bahasa, ragam bahasa, perubahan bahasa,
wujud bahasa, struktur bahasa, fungsi bahasa, pengaruh bahasa, perencanaan
bahasa, pengajaran bahasa, perolehan bahasa, evaluasi dan sebagainya daripada
melacak sejarah kelahirannya. Padahal dengan mengetahui sejarah kelahirannya
akan dapat diperoleh pemahaman yang utuh tentang bahasa.
Sebenarnya studi tentang bahasa, termasuk tentang asal usul bahasa atau glottogony sudah lama dilakukan para ilmuwan, seperti sosiolog, psikolog, antropolog, filsuf, bahkan teolog. Tetapi karena pusat perhatian para ilmuwan tersebut berbeda-beda, maka tidak diperoleh pengetahuan yang memadai tentang asal usul bahasa. Belakangan para ahli komunikasi juga menjadikan bahasa sebagai pusat kajian. Secara mikro, lahir ilmu seperti fonologi, morfologi, sintak, semantik, gramatika, semiotika dan sebagainya. Tidak berlebihan jika seorang filsuf hermeneutika kenamaan Gadamer mengatakan bahwa bahasa adalah pusat memahami dan pemahaman manusia. Sebab, melalui bahasa akan diketahui pola pikir, sistematika berpikir, kekayaan gagasan, kecerdasan, dan kondisi psikologis seseorang.
Alih-alih menyimpulkan kapan bahasa pertama kali digunakan manusia, para ahli bahasa justru sepakat bahwa tidak seorang pun mengetahui secara persis kapan bahasa awal mula ada, di mana, bagaimana membuatnya dan siapa yang mengawalinya. Ungkapan yang lazim mengatakan bahwa sejarah bahasa dimulai sejak awal keberadaan manusia. Dengan demikian, sejarah bahasa berlangsung sepanjang sejarah manusia. Ada sedikit informasi dari para peneliti sejarah bahasa yang menyimpulkan bahwa bahasa muncul pertama kali kurang lebih 3000 SM. Inipun dianggap kesimpulan yang spekulatif dan tanpa bukti yang kuat.
Karena hasil studi tentang asal usul bahasa dianggap tidak pernah memuaskan, maka menurut Alwasilah (1990: 1) pada 1866 Masyarakat Linguistik Perancis pernah melarang mendiskusikan asal usul bahasa karena hasilnya tidak pernah jelas dan hanya buang-buang waktu saja. Namun demikian, terdapat beberapa teori tentang asal usul bahasa, di antaranya bersifat tradisional dan mistis. Misalnya, ada yang beranggapan bahwa bahasa adalah hadiah para dewa yang diwariskan secara turun temurun kepada manusia, sebuah ungkapan yang sulit diterima kebenarannya secara ilmiah dan nalar logis. Namun menurut Pei (1971: 12) pada kongres linguistik di Turki tahun 1934 muncul pendapat yang menyatakan bahwa bahasa Turki adalah akar dari semua bahasa dunia karena semua kata dalam semua bahasa berasal dari giines, kata Turki yang berarti “matahari”, sebuah planet yang pertama kali menarik perhatian manusia dan menuntut nama. Kendati kebenarannya masih dipertanyakan banyak kalangan, pendapat tersebut tidak berlebihan. Sebab, dari sisi penggunanya bahasa Turki dipakai tidak saja oleh orang Turki, tetapi juga oleh masyarakat di negara-negara bekas Uni Soviet, seperti Tajikistan, Ubekistan, Armenia, Ukraina, dan sebagainya.
Sebuah hipotesis tentang teori bahasa yang didukung oleh Darwin (1809-1882) menyatakan bahwa bahasa hakikatnya lisan dan terjadi secara evolusi, yakni berawal dari pantomime-mulut di mana alat-alat suara seperti lidah, pita suara, larynk, hidung, vocal cord dan sebagainya secara reflek berusaha meniru gerakan-gerakan tangan dan menimbulkan suara. Masih menurut Darwin kualitas bahasa manusia dibanding dengan suara binatang hanya berbeda dalam tingkatannya saja. Artinya, perbedaan antara bahasa manusia dan suara binantang itu sangat tipis, sampai-sampai ada sebagian yang berpendapat bahwa binatang juga berbahasa. Bahasa manusia seperti halnya manusia sendiri yang berasal dari bentuk yang sangat primitif berawal dari bentuk ekspresi emosi saja.
Sebenarnya studi tentang bahasa, termasuk tentang asal usul bahasa atau glottogony sudah lama dilakukan para ilmuwan, seperti sosiolog, psikolog, antropolog, filsuf, bahkan teolog. Tetapi karena pusat perhatian para ilmuwan tersebut berbeda-beda, maka tidak diperoleh pengetahuan yang memadai tentang asal usul bahasa. Belakangan para ahli komunikasi juga menjadikan bahasa sebagai pusat kajian. Secara mikro, lahir ilmu seperti fonologi, morfologi, sintak, semantik, gramatika, semiotika dan sebagainya. Tidak berlebihan jika seorang filsuf hermeneutika kenamaan Gadamer mengatakan bahwa bahasa adalah pusat memahami dan pemahaman manusia. Sebab, melalui bahasa akan diketahui pola pikir, sistematika berpikir, kekayaan gagasan, kecerdasan, dan kondisi psikologis seseorang.
Alih-alih menyimpulkan kapan bahasa pertama kali digunakan manusia, para ahli bahasa justru sepakat bahwa tidak seorang pun mengetahui secara persis kapan bahasa awal mula ada, di mana, bagaimana membuatnya dan siapa yang mengawalinya. Ungkapan yang lazim mengatakan bahwa sejarah bahasa dimulai sejak awal keberadaan manusia. Dengan demikian, sejarah bahasa berlangsung sepanjang sejarah manusia. Ada sedikit informasi dari para peneliti sejarah bahasa yang menyimpulkan bahwa bahasa muncul pertama kali kurang lebih 3000 SM. Inipun dianggap kesimpulan yang spekulatif dan tanpa bukti yang kuat.
Karena hasil studi tentang asal usul bahasa dianggap tidak pernah memuaskan, maka menurut Alwasilah (1990: 1) pada 1866 Masyarakat Linguistik Perancis pernah melarang mendiskusikan asal usul bahasa karena hasilnya tidak pernah jelas dan hanya buang-buang waktu saja. Namun demikian, terdapat beberapa teori tentang asal usul bahasa, di antaranya bersifat tradisional dan mistis. Misalnya, ada yang beranggapan bahwa bahasa adalah hadiah para dewa yang diwariskan secara turun temurun kepada manusia, sebuah ungkapan yang sulit diterima kebenarannya secara ilmiah dan nalar logis. Namun menurut Pei (1971: 12) pada kongres linguistik di Turki tahun 1934 muncul pendapat yang menyatakan bahwa bahasa Turki adalah akar dari semua bahasa dunia karena semua kata dalam semua bahasa berasal dari giines, kata Turki yang berarti “matahari”, sebuah planet yang pertama kali menarik perhatian manusia dan menuntut nama. Kendati kebenarannya masih dipertanyakan banyak kalangan, pendapat tersebut tidak berlebihan. Sebab, dari sisi penggunanya bahasa Turki dipakai tidak saja oleh orang Turki, tetapi juga oleh masyarakat di negara-negara bekas Uni Soviet, seperti Tajikistan, Ubekistan, Armenia, Ukraina, dan sebagainya.
Sebuah hipotesis tentang teori bahasa yang didukung oleh Darwin (1809-1882) menyatakan bahwa bahasa hakikatnya lisan dan terjadi secara evolusi, yakni berawal dari pantomime-mulut di mana alat-alat suara seperti lidah, pita suara, larynk, hidung, vocal cord dan sebagainya secara reflek berusaha meniru gerakan-gerakan tangan dan menimbulkan suara. Masih menurut Darwin kualitas bahasa manusia dibanding dengan suara binatang hanya berbeda dalam tingkatannya saja. Artinya, perbedaan antara bahasa manusia dan suara binantang itu sangat tipis, sampai-sampai ada sebagian yang berpendapat bahwa binatang juga berbahasa. Bahasa manusia seperti halnya manusia sendiri yang berasal dari bentuk yang sangat primitif berawal dari bentuk ekspresi emosi saja.
Nenek moyang kita jutaan tahun lalu berbahasa dengan kosa
kata dan tata bahasa yang sangat terbatas. Seiring dengan perkembangan
peradaban manusia, sistem lambang ini pun berkembang hingga akhirnya lahir
bahasa tulis. Lewat bahasa tulis, peradaban manusia berkembang menjadi demikian
pesat. Dengan demikian, bahasa terbentuk dan berkembang secara evolutif
Berbeda dengan aliran-aliran primitif tersebut di atas, para filsuf Yunani kuno, seperti Pythagoras, Plato, dan kaum Stoika berpendapat bahwa bahasa muncul karena “keharusan batin” atau karena “hukum alam”. Disebut “keharusan batin”, karena bahasa hakikatnya adalah perwujudan atau ekspresi dunia batin penggunanya. Pendapat yang cukup masuk akal dan menjadi dasar pemahaman orang tentang makna bahasa sampai saat ini muncul dari filsuf seperti Demokritus, Aristoteles, dan kaum Epikureja yang mengatakan bahwa bahasa adalah hasil persetujuan dan perjanjian antar-anggota masyarakat. Sebab, sifat dasar manusia adalah keinginannya berinteraksi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Sayangnya, teori ini berhenti sampai di sini.
Kendati teori tentang asal mula bahasa masih kabur dan demikian beragam, dari yang bersifat mitos, religius, mistis sampai yang ke ilmiah, menurut Hidayat (1996: 29) secara garis besar terdapat tiga perspektif teoretik mengenai asal usul bahasa, yakni teologik, naturalis, dan konvensional. Aliran teologik umumnya menyatakan bahwa kemampuan berbahasa manusia merupakan anugerah Tuhan untuk membedakannya dengan makhluk ciptaanNya yang lain. Dalam al Qur’an (2: 31) Allah dengan tegas memerintahkan Adam untuk memberi nama benda-benda (tidak menghitung benda). Para penganut aliran ini berpendapat kemampuan Adam untuk memberi nama benda disebut tidak saja sebagai peristiwa linguistik pertama kali dalam sejarah manusia, tetapi juga sebuah peristiwa sosial yang membedakan manusia dengan semua makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Tentu saja pendapat ini bersifat dogmatis dan karenanya tidak perlu dilakukan kajian secara ilmiah dan serius tentang asal usul bahasa. Kehadiran bahasa diterima begitu saja, sama dengan kehadiran manusia yang tidak perlu dipertentangkan. Karena bersifat teologik, maka aliran ini terkait dengan keimanan seseorang. Sisi positif aliran ini adalah kebenarannya bersifat mutlak dan karenanya tidak perlu diperdebatkan karena berasal dari Allah. Tetapi sisi negatifnya ialah aliran ini menjadikan ilmu pengetahuan tentang bahasa tidak berkembang. Sebab, tidak lagi ada kajian atau penelitian tentang asal usul bahasa.
Berbeda dengan aliran-aliran primitif tersebut di atas, para filsuf Yunani kuno, seperti Pythagoras, Plato, dan kaum Stoika berpendapat bahwa bahasa muncul karena “keharusan batin” atau karena “hukum alam”. Disebut “keharusan batin”, karena bahasa hakikatnya adalah perwujudan atau ekspresi dunia batin penggunanya. Pendapat yang cukup masuk akal dan menjadi dasar pemahaman orang tentang makna bahasa sampai saat ini muncul dari filsuf seperti Demokritus, Aristoteles, dan kaum Epikureja yang mengatakan bahwa bahasa adalah hasil persetujuan dan perjanjian antar-anggota masyarakat. Sebab, sifat dasar manusia adalah keinginannya berinteraksi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Sayangnya, teori ini berhenti sampai di sini.
Kendati teori tentang asal mula bahasa masih kabur dan demikian beragam, dari yang bersifat mitos, religius, mistis sampai yang ke ilmiah, menurut Hidayat (1996: 29) secara garis besar terdapat tiga perspektif teoretik mengenai asal usul bahasa, yakni teologik, naturalis, dan konvensional. Aliran teologik umumnya menyatakan bahwa kemampuan berbahasa manusia merupakan anugerah Tuhan untuk membedakannya dengan makhluk ciptaanNya yang lain. Dalam al Qur’an (2: 31) Allah dengan tegas memerintahkan Adam untuk memberi nama benda-benda (tidak menghitung benda). Para penganut aliran ini berpendapat kemampuan Adam untuk memberi nama benda disebut tidak saja sebagai peristiwa linguistik pertama kali dalam sejarah manusia, tetapi juga sebuah peristiwa sosial yang membedakan manusia dengan semua makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Tentu saja pendapat ini bersifat dogmatis dan karenanya tidak perlu dilakukan kajian secara ilmiah dan serius tentang asal usul bahasa. Kehadiran bahasa diterima begitu saja, sama dengan kehadiran manusia yang tidak perlu dipertentangkan. Karena bersifat teologik, maka aliran ini terkait dengan keimanan seseorang. Sisi positif aliran ini adalah kebenarannya bersifat mutlak dan karenanya tidak perlu diperdebatkan karena berasal dari Allah. Tetapi sisi negatifnya ialah aliran ini menjadikan ilmu pengetahuan tentang bahasa tidak berkembang. Sebab, tidak lagi ada kajian atau penelitian tentang asal usul bahasa.
B.
Definisi
Filsafat dan Bahasa
Menurut Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua
pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi
antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan
simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
Lain halnya menurut Owen dalam Stiawan (2006:1), menjelaskan definisi bahasa yaitu language can be defined as a socially shared combinations of those symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan (1989:4), beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif. Kedua, bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.
Lain halnya menurut Owen dalam Stiawan (2006:1), menjelaskan definisi bahasa yaitu language can be defined as a socially shared combinations of those symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan (1989:4), beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif. Kedua, bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.
Menurut Santoso (1990:1), bahasa adalah rangkaian bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar. Mackey (1986:12), Bahasa adalah
suatu bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage
may be form and not matter). Wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem simbol
bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat
arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh
sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.Walija (1996:4),
mengungkapkan definisi bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif
untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat kepada orang lain.
Pendapat lainnya tentang definisi bahasa diungkapkan oleh Syamsuddin (1986:2), beliau memberi dua pengertian bahasa. Pertama, bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
Sementara Pengabean (1981:5), berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf. Pendapat terakhir tentang bahasa ini diutarakan oleh Soejono (1983:01), bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.
Sedangkan Filsafat, jika dilihat dari ilmu asal-usul kata (etimologi), istilah filsafat diambil dari kata falasafah yang berasal dari bahasa Arab. Istilah ini diadopsi dari bahasa Yunani, yaitu dari kata “philosophia”. Kata philosophia terdiri dari kata philein yang berarti cinta (love), dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Dengan demikian, secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom) secara mendalam. Dari sini terdapat ungkapan yang menyatakan bahwa filosof (filsuf, failasuf) adalah seorang yang sangat cinta akan kebijaksanaan secara mendalam. Dan kata filsafat pertama kali digunakan oleh phytagoras (582-496 m). selanjutnya berikut ini beberapa penjelasan mengenai filsafat menurut para ahli yaitu bahasa:
Pendapat lainnya tentang definisi bahasa diungkapkan oleh Syamsuddin (1986:2), beliau memberi dua pengertian bahasa. Pertama, bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
Sementara Pengabean (1981:5), berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf. Pendapat terakhir tentang bahasa ini diutarakan oleh Soejono (1983:01), bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.
Sedangkan Filsafat, jika dilihat dari ilmu asal-usul kata (etimologi), istilah filsafat diambil dari kata falasafah yang berasal dari bahasa Arab. Istilah ini diadopsi dari bahasa Yunani, yaitu dari kata “philosophia”. Kata philosophia terdiri dari kata philein yang berarti cinta (love), dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Dengan demikian, secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom) secara mendalam. Dari sini terdapat ungkapan yang menyatakan bahwa filosof (filsuf, failasuf) adalah seorang yang sangat cinta akan kebijaksanaan secara mendalam. Dan kata filsafat pertama kali digunakan oleh phytagoras (582-496 m). selanjutnya berikut ini beberapa penjelasan mengenai filsafat menurut para ahli yaitu bahasa:
a.
Plato,
filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang
asli.
b.
Aristoteles,
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung
didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politi k,
dan estetika,
c.
Al-Farabi,
filasafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam amaujud bagaimana hakikat yang
sebenarnya.
d.
Rene
Descartes,filsafat adalah sekumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam dan
manusia menjadi pokok penyelidikan.
e.
Immanuel
Kant, filasafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok pangkal dari segala
pengetahuan, yang didalamnya mencakup masalah epistemology mengenai segala
sesuatu yang kita ketahui.
f.
Langeveld,
filasafat adalah berpikir tentang masalah-malasah yaitu tentang makna keadaan, Tuhan,
keabadian, dan kebebasan.
g.
Hasbullah
Bakri, filasafat adala ilmu yang menyelidiki tentang segala sesuatu dengan
mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia.
h.
N.
Driyarka, filasafat adalah pemerenungan terhadap sebab-sebab “ada” dan berbuat
tentang kenyataan (reality) sampai pada akhir.
i.
Notonegoro,
filsafat adalah hal-hal yang menjadi objek dari sudut intinya yang mutlak dan
yang terdalam.
j.
Ir.
Poedjawijatna, filasafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang
sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.
k.
Muhsyanur
Syahrir, filsafat adalah ilmu yang selalu mencari yang hakiki baik masalah
ketuhanan, realita yang dialami baik dari subjek yaitu manusia maupun dari
objeknya yaitu alam.
C.
Esensi Bahasa di tinjau dari segi
Filsafat
1. Bidang-bidang khusus yang dikaji
dalam filsafat bahasa
a. Filsafat Analitik
Filsafat analitik atau filsafat linguistik atau filsafat
bahasa, penggunaan istilahnya tergantung pada preferensi filusuf yang
bersangkutan. Namun pada umumnya kita dapat menjelaskan pendekatan ini sebagai
suatu yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas mendasar filusuf.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama Gottlob Frege. Frege memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filsuf-filsuf kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi kedalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan jelas.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama Gottlob Frege. Frege memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filsuf-filsuf kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi kedalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan jelas.
b. Filsafat Sintetik
Tekanan yang berlebihan pada logika analitik dalam filsafat,
seperti yang telah kita amati, sering menimbulkan pandangan yang mengabaikan
semua mitos dalam pencarian sistem ilmiah. Sejauh mana filsuf-filsuf
membolehkan cara pikir mitologis untuk memainkan peran dalam berfilsafat
barangkali sebanding dengan sejauh mana mereka mengakui berapa bentuk logika
sintetik sebagi komplemen sebagai analitik yang sah. Contoh: yesus mengalami
hubungan antara bapak da putra, sehingga ia mgajari pengikut-pengikutnya agar
berdo’a kepada bapak mereka yang di surga.
c. Filsafat Hermeneutik
Aliran utama filsafat ketiga pada abad kedua puluh meminjam
namanya, dengan alasan yang baik, mengingat sifat mitologis ini. Sebgaiman
tugas Heymes ialah mengungkapkan makna tersembunyi dari dewa-dewa ke
manusia-manusia, filsafat hermeneutik pun berusaha memahami persoalan paling
dasar dalam kajian ilmu tentang logika atau filsafat bahasa: bagaimana
pemahaman itu sendiri mengambil tempat bilamana kita menafsirkan pesan-pesan
ucapan atau tulisan. Filsafat hermeneutic memilik akar yang dalam di kebudayaan
barat. Bahkan, Aristoteles sendiri menulis buku berjudul peri hermeneias
(tentang interpretasi), walau ini lebih berkenan dengan pertanyaan-pertanyaan
dasar logika daripada dengan persoalan yang saat ini kita kaitkan dengan
hermeneutika.
Karya pertama yang berusaha secara praktis obyektif menata prinsip-prinsip penafsiran semacam itu adalah introduction to the correct interpretation of reasonable discourses and book (1742), karya Johann Chladenius (1710-1759). Dengan menetapkan hermeneutika sebagai seni pemorelahan pemahaman pembicaraan secara lengkap (entah ucapan entah tulisan).
Karya pertama yang berusaha secara praktis obyektif menata prinsip-prinsip penafsiran semacam itu adalah introduction to the correct interpretation of reasonable discourses and book (1742), karya Johann Chladenius (1710-1759). Dengan menetapkan hermeneutika sebagai seni pemorelahan pemahaman pembicaraan secara lengkap (entah ucapan entah tulisan).
2. Hubungan bahasa dan pengetahuan
bahasa
Relasi antara hubungan bahasa dan
pengetahuan bahasa dapat dikatakan sebagai hubungan kausalitas. Dan di dalam
perkembangannya, bahasa sudah dijadikan obyek menarik bagi perenungan, pembahasan
dan penelitian dunia filsafat. Selai bahasa mempunyai daya tarik tersendiri, ia
juga memiliki kelemahan sehubungan dengan fungsi dan perannya yang begitu luas
dan kompleks, seperti ia tidak bisa mengetahui dirinya secara tuntas dan
sempurna, sehingga filsafatlah yag memberikan pengetahuan pada dirinya.
3. Filsafat dapat dikaji melalui tiga
aspek yaitu, epistemology, antologi dan aksiologi.
a)
Epsitemologi
(asal mula) adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan
cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber
pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh
pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Pengetahuan
merupakan daerah persinggungan antara benar dan dipercaya. Secara rasional,
ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara
empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak.
Secara umum bahasa dapat difenisikan
sebagai lambang. Pengertian lain dari bahasa adalah alat komunikasi yang berupa
sistem lambang yang dihasilkan oleh alat ucap pada manusia Seperangkat aturan
yang mendasari pemakaian bahasa, atau yang kita gunakan sebagai pedoman
berbahasa inilah yang disebut Tata bahasa.
Untuk selanjutnya yang berhubungan dengan tata bahasa akan dibahas lebih detail lagi yaitu tentang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan etimologi. Pengertian dari Fonologi ialah bagian tata bahasa yang membahas atau mempelajari bunyi bahasa. Morfologi mempelajari proses pembentukan kata secara gramatikal beserta unsur-unsur dan bentuk-bentuk kata. Sintaksis membicarakan komponen-komponen kalimat dan proses pembentukannya. Bidang ilmu bahasa yang secara khusus menganalisis arti atau makna kata ialah semantik, sedang yang membahas asal-usul bentuk kata adalah etimologi.
Untuk selanjutnya yang berhubungan dengan tata bahasa akan dibahas lebih detail lagi yaitu tentang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan etimologi. Pengertian dari Fonologi ialah bagian tata bahasa yang membahas atau mempelajari bunyi bahasa. Morfologi mempelajari proses pembentukan kata secara gramatikal beserta unsur-unsur dan bentuk-bentuk kata. Sintaksis membicarakan komponen-komponen kalimat dan proses pembentukannya. Bidang ilmu bahasa yang secara khusus menganalisis arti atau makna kata ialah semantik, sedang yang membahas asal-usul bentuk kata adalah etimologi.
b)
Ontologikal
(Objek atau sasaran) membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara
kritis. Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar
berbagai benda yang akhimya akan menentukan pendapat bahkan ke¬yakinannya
mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang
dicarinya.
Rizal Mustansyir menyebutkan bahwa objek material filsafat bahasa adalah kefilsafatan atau bahasa yang dipergunakan dalam filsafat. Sedangkan objek formal filsafat bahasa menurutnya, ialah pandangan filsafati atau tinjauan secara filsafati.
Rizal Mustansyir menyebutkan bahwa objek material filsafat bahasa adalah kefilsafatan atau bahasa yang dipergunakan dalam filsafat. Sedangkan objek formal filsafat bahasa menurutnya, ialah pandangan filsafati atau tinjauan secara filsafati.
c)
Semantikal
/ Aksiologi (nilai dan fungsi) meliputi nilai nilai kegunaan yang bersifat
normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke¬nyataan yang dijumpai
dalam seluruh aspek kehidupan. Nilai-nilai kegunaan ilmu ini juga wajib
dipatuhi seorang ilmuwan, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam
menerapkan ilmu.
Salah satu aspek penting dari bahasa ialah aspek fungsi bahasa. Secara umum fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi, bahkan dapat dipandang sebagai fungsi utama bahasa.
Salah satu aspek penting dari bahasa ialah aspek fungsi bahasa. Secara umum fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi, bahkan dapat dipandang sebagai fungsi utama bahasa.
4. Ciri-ciri bahasa universal
a) Bahasa itu mempunyai bunyi bahasa
yang terdiri dari vocal dan konsonan. Misalnya, bahasa Indonesia mempunyai 6
vokal dan 22 konsonan, bahasa arab mempunyai tiga vocal pendek dan tiga vocal
panjang serta 28 konsonan (Al-Khuli 1982;321); bahasa Inggris memiliki 16 buah
vocal dan 24 konsonan (Al-Khuli 1982: 320).
b) Bahasa mempunyai satuan-satuan
bahasa yang bermakna, entah kata, frase, kalimat dan wacana.
5. Para ahli bahasa dan pandangannya
terhadap bahasa
a)
Ferdinand
De Saussure sangat menekankan bahwa tanda-tanda bahasa secara bersama membentuk
system; bahwa langue, dengan kata lain berwatak sistematik dan structural.
Dengan pandangan terhadap sistematika bahasa ini de Saussure telah menjalankan
pengaruh yang dahsyat.
Noam Chomsky berpendapat suatu
bahasa yang hidup ditandai oleh kreativitas yang dituntut oleh aturan-aturan.
Aturan-aturan tata bahasa nyata bertalian dengan tingkah laku kejiwaan, manusia
adalah satu-satunya makhluk yang dapat belajar bahasa. Bahasa yang hidup adalah
bahasa yang dapat dipakai dalam berpikir.
b)
Benyamin Lee dan Sapir hipotesis yang
diusungnya adalah struktur bahasa suatu budaya menentukan apa yang orang
pikirkan dan lakukan. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang menyesuaikan
dirinya dengan realitas tanpa menggunakan bahasa, dan bahwa bahasa hanya
semata-mata digunakan untuk mengatasi persoalan komunikasi atau refleksi
tertentu. Hipotesis ini menunjukkan bahwa proses berpikir kita dan cara kita
memandang dunia dibentuk oleh struktur gramatika dari bahasa yang kita gunakan.
D.
Hubungan
Bahasa dengan Filsafat
Bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan
proses hubungan antarmanusia, tetapi, bahasa pun mampu mengubah seluruh
kehidupan manusia. Artinya, bahwa bahasa merupakan aspek terpenting dari
kehidupan manusia. Kearifan Melayu mengatakan : “Bahasa adalah cermin budaya
bangsa, hilang budaya maka hilang bangsa”. Jadi bahasa adalah sine qua non,
suatu yang mesti ada bagi kebudayaan dan masyarakat manusia.
Bagaimanapun alat paling utama dari filsafat adalah bahasa. Tanpa bahasa, seorang filosof (ahli filsafat) tidak mungkin bisa mengungkapkan perenungan kefilsafatannya kepada orang lain. Tanpa bantuan bahasa, seseorang tidak akan mengerti tentang buah pikiran kefilsafatan.
Louis O. Katsooff berpendapat bahwa suatu system filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat dipandang sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai suatu upaya penyusunan bahasa tersebut. Karena itu filsafat dan bahasa senantiasa akan beriringan, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini karena bahasa pada hakikatnya merupakan sistem symbol-simbol. Sedangkan tugas filsafat yang utama adalah mencari jawab dan makna dari seluruh symbol yang menampakkan diri di alam semesta ini. Bahasa juga adalah alat untuk membongkar seluruh rahasia symbol-simbol tersebut.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa bahasa dan filsafat memiliki hubungan atau relasi yang sangat erat, dan sekaligus merupakan hukum kausalitas (sebab musabbab dan akibat) yang tidak dapat ditolak kehadirannya. Sebab itulah seorang filosof (ahli filsafat), baik secara langsung maupun tidak, akan senantiasa menjadikan bahasa sebagai sahabat akrabnya yang tidak akan terpisahkan oleh siapa pun dan dalam kondisi bagaimanapun. Bahasa memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan objek penelitian filsafat, ia juga memiliki kelemahan-kelemahan tertentu sehubungan dengan fungsi dan perannya yang begitu luas dan kompleks. Salah satu kelemahannya yaitu tidak mengetahui dirinya secara tuntas dan sempurna, sebagaimana mata tidak dapat melihat dirinya sendiri.
Realitas semacam itulah, barangkali yang mendorong para filosof dari tradisi realisme di Inggris mengalihkan orientasi kajian kefilsafatannya pada analisis bahasa seperti yang telah dilakukan oleh George More (1873-1958), Bertrand Russel (1872-1970), Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Alfref Ayer (1910- ), dan yang lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok ini sering dikelompokkan sebagai aliran baru dalam filsafat, yaitu aliran filsafat analisis bahasa atau filsafat analitis.
Bagaimanapun alat paling utama dari filsafat adalah bahasa. Tanpa bahasa, seorang filosof (ahli filsafat) tidak mungkin bisa mengungkapkan perenungan kefilsafatannya kepada orang lain. Tanpa bantuan bahasa, seseorang tidak akan mengerti tentang buah pikiran kefilsafatan.
Louis O. Katsooff berpendapat bahwa suatu system filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat dipandang sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai suatu upaya penyusunan bahasa tersebut. Karena itu filsafat dan bahasa senantiasa akan beriringan, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini karena bahasa pada hakikatnya merupakan sistem symbol-simbol. Sedangkan tugas filsafat yang utama adalah mencari jawab dan makna dari seluruh symbol yang menampakkan diri di alam semesta ini. Bahasa juga adalah alat untuk membongkar seluruh rahasia symbol-simbol tersebut.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa bahasa dan filsafat memiliki hubungan atau relasi yang sangat erat, dan sekaligus merupakan hukum kausalitas (sebab musabbab dan akibat) yang tidak dapat ditolak kehadirannya. Sebab itulah seorang filosof (ahli filsafat), baik secara langsung maupun tidak, akan senantiasa menjadikan bahasa sebagai sahabat akrabnya yang tidak akan terpisahkan oleh siapa pun dan dalam kondisi bagaimanapun. Bahasa memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan objek penelitian filsafat, ia juga memiliki kelemahan-kelemahan tertentu sehubungan dengan fungsi dan perannya yang begitu luas dan kompleks. Salah satu kelemahannya yaitu tidak mengetahui dirinya secara tuntas dan sempurna, sebagaimana mata tidak dapat melihat dirinya sendiri.
Realitas semacam itulah, barangkali yang mendorong para filosof dari tradisi realisme di Inggris mengalihkan orientasi kajian kefilsafatannya pada analisis bahasa seperti yang telah dilakukan oleh George More (1873-1958), Bertrand Russel (1872-1970), Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Alfref Ayer (1910- ), dan yang lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok ini sering dikelompokkan sebagai aliran baru dalam filsafat, yaitu aliran filsafat analisis bahasa atau filsafat analitis.
E.
Fungsi
Filsafat terhadap Bahasa
Kita pada maklum bahwa kerja filsafat adalah dimulai dari suatu
peranyataan kritis tentang sesuatu realitas yang tidak hanya mempertanyakan
tentang dunia yang konkrit, tetapi juga sebagian realitas yang oleh sebagian
orang dianggap tabu untuk dipertanyakan. Bagi filsafat seluruh realitas adalah
layak untuk dipertanyakan. Bagi filsafat pertanyaan itu bukanlah sekedar
bertanya, tapi diharapkan berupa pertanyaan yang kritis tentang apa saja.
“Filsafat harus mengkritik pertanyaan-pertanyaan yang tidak mamadai dan harus ikut mencari jawaban yang benar”, kata Franz Magnis-Suseno. Atau seperti kata Robert Spaemann : ”Yang baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban”. Itu sudah menjadi pertanyaan para filosof tempo dulu, dari Socrates sampai Ibnu Rusd dari Andalusia.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa masalah kebahasaan yang memerlukan analisis atau kerja filsafat dalam memahami dan memecahkannnya, antara lain :
“Filsafat harus mengkritik pertanyaan-pertanyaan yang tidak mamadai dan harus ikut mencari jawaban yang benar”, kata Franz Magnis-Suseno. Atau seperti kata Robert Spaemann : ”Yang baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban”. Itu sudah menjadi pertanyaan para filosof tempo dulu, dari Socrates sampai Ibnu Rusd dari Andalusia.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa masalah kebahasaan yang memerlukan analisis atau kerja filsafat dalam memahami dan memecahkannnya, antara lain :
1.
Masalah
“bahasa’ pertama dan mendasar adalah apa hakikat bahasa itu ? mengapa bahasa
itu harus ada pada manusia dan merupakan cirri utama manusia. Apa pula hakikat
manusia itu, dan bagaimana hubungan antara “bahasa” dan “manusia” itu.
2.
Apakah perbedaan utama antara “bahasa” manusia
dan bahasa di luar manusia, seperti bahasa binatang dan atau bahasa makhluk
lain. Apa persamaannya dan apa pula perbedaannya.
3.
Apa
hubungan antara bahasa dan akal, dan juga apa hubungannya antara bahasa dengan
hati, intuisi dan fenomena batin manusia lainnya.
Problem-problem tersebut, merupakan sebagian dari
contoh-contoh problematika kebahasaan, yang dalam pemecahannya memerlukan
usaha-usaha pemikiran yang dalam dan sistematis atau analisis filsafat.
Agar ada sedikit gambaran, berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai hubungan fungsional antara bahasa dan filsafat. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Agar ada sedikit gambaran, berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai hubungan fungsional antara bahasa dan filsafat. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Filsafat,
dalam arti analisis merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para
filosof dan ahli filsafat dalam memecahkan , seperti mengenai apakah hakikat
bahasa itu, atau pernyataan dan ungkapan bahasa yang bagaimana yang dapat
dikategorikan ungkapan bahasa bermakna dan tidak bermakna.
2.
Filsafat, dalam arti pandangan atau aliran
tertentu terhadap suatu realitas, misalnya filsafat idealism, rasionalisme,
realism, filsafat analitif, Neo-Posotovisme, strukturalisme, posmodernisme, dan
sebagainya, akan mewarnai pula pandangan para ahli bahasa dalam mengembangkan
teori-teorinya. Aliran filsafat tertentu akan mempengaruhi dan memberikan
bentuk serta corak tertentu terhadap teori-teori kebahasaan yang telah
dikembangkan para ahli ilmu bahasa atas dasar aliran filsafat tersebut. Sebut
saja “Sausurian”, adalah suatu aliran linguistic dan ilmu sastra yang
dikembangkan di atas bangunan filsafat strukturalisme Ferdinand de Saussure.
3.
Filsafat, juga berfungsi member arah agar
teorai kebahasaan yang telah dikembangkan para ahli ilmu bahasa, yang
berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, memiliki
relevansi dan realitas kehidupan ummat manusia.
4.
Filsafat, termasuk juga filsafat bahasa, juga
mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan
teori-teori kebahasan menjadi ilmu bahasa (linguistic) atau ilmu sastra. Suatu
teori kebahasaan yang dikembangkan oleh suatu aliran filsafat tertentu, akan
menghasilkan forma aliran ilmu bahasa tertentu pula. Hal ini akan sangat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu kebahasaan secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Kusno Budi.1990.Problematika Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.
Pangabean, Maruli. 1981. Bahasa Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: Gramedia.
Wibowo, Wahyu. 2001. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia. Ahmad Asep.2006. Filsafat Bahasa. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Slametmuljana. Prof. Dr. 1982. Asal usul Bahasa dan Bahasa Nusantara Jakarta: Balai Pustaka.
S. Suriasumantri. Jujun.2007. Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer).Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Surajiyo,Drs.2007. Filasafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Thanks for reading & sharing Kamar Pekick
0 komentar:
Post a Comment