Mengapresiasi Karya Seni Teater
A. Mendeskripsikan Perkembangan Teater Tradisional
1. Pengertian Teater Tradisi
Istilah teater sesungguhnya berasal dari budaya Barat, khususnya dari budaya bangsa Yunani di Eropa. Istilah teater yang berasal dari kata theatron (yang diturunkan dari kata theaomai), berarti ‘dengan takjub memandang’, melihat; atau dapat berarti ‘a seeing place’ (Encyclopaedia Britanica), mewakili pengertian:
a. gedung pertunjukan, panggung: yaitu sejak zaman Thuycidides (471 – 395 sM) dan Plato (428 – 348 sM);
b. publik, auditorium; pada masa Herodotus (490 – 348 sM);
c. karangan tonil, seperti yang disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama..
Kata teater dalam kehidupan sehari-hari sering dipetukarkan dengan istilah drama. Sebagaimana diketahui, drama merupakan bidang kajian seni sastra yang setara kedudukannya dengan puisi dan prosa. Kata drama yang diturunkan dari kata dromain (bhs. Yunani) mengandung mengertian:
a. kejadian, risalah, karangan (zaman Aeschylus + 525 – 456 sM);
b. segala pertunjukan yang memakai mimik (Dictionary of World Literature).
Pada perkembangan berikutnya, seperti yang kita saksikan dewasa ini, drama merupakan bagian kajian dalam seni sastra, setara dengan puisi dan prosa fiksi. Sementara itu, teater mengacu kepada:
a. tempat pertunjukan, gedung bioskop;
b. pertunjukan sandiwara (istilah yang digunakan oleh PKG Mangkunegara VII; 1885-1944) yang merupakan bentukan dari kata sandhi yang berarti rahasia, dan warah yang berarti pendidikan sehingga kata sandiwara memiliki makna sebagai bentuk pendidikan yang disamarkan atau dirahasiakan melalui perilaku manusia dalam cerita yang dipanggungkan;
c. kelompok orang atau organisasi yang berkecimpung dalam pengolahan dan pementasan drama atau sandiwara (terlihat dari nama-nama yang digunakan oleh kelompok kesenian pementasan drama seperti Teater Populer, Teater Kecil, Teater Mandiri, Teater Koma, Teater Saja, Bengkel Teater, Studiklub Teater Bandung, dan sebagainya);
d. kegiatan kesenian mandiri yang setara dengan cabang-cabang kesenian lainnya.
Istilah teater tradisi adalah bentuk sajian teater yang berakar dari tradisi budaya suatu daerah tertentu. Berdasarkan pengertian ini, kita akan menemukan dua kelompok pengertian yang keduanya mengacu kepada teater tradisi.
(1) Teater tradisi yang mengacu kepada bentuk-bentuk penyajian ritual keagamaan dan kepercayaan tertentu sehingga mempertunjukkan bentuk teater tradisional seperti ini tidak bolah di sembarang waktu dan sembarang tempat. Pertunjukan teater tradisi pada pengertian ini mengacu kepada sistem religi masyarakat tradisional yang hidup di Nusantara pada masa lalu.
(2) Teater tradisi sebagai seni pertunjukan dan hiburan yang berakar pada peri kehidupan dan budaya masyarakat daerah tertentu. Pengertian ini tidak seluruhnya benar mengingat teater tradisi pertunjukan ini bukan merupakan bentuk kesenian murni tradisi Nusantara.
Banyak bentuk teater tradisi jenis ini yang justru tumbuh akibat pengaruh perkembangan teater Eropa yang sering dipertunjukkan oleh bangsa Belanda selama masa penjajahan dahulu. Meskipun demikian, bentuk-bentuk sajian teater yang kemudian hidup dan bertahan telah meresap ke dalam warna budaya daerah yang khas dan dapat dengan mudah dikenali.
Sebagai contoh, bentuk teater Kethoprak sangat mudah dikenali sebagai bentuk teater tradisi yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Demikian pula halnya dengan Ludruk dari Jawa Timur, kemudian Longser dari Jawa Barat, dan Lenong dari Jakarta.
Di daerah-daerah lain sudah barang tentu terdapat bentuk penyajian teater tradisi yang khas dan membawa warna lokal budaya masing-masing. Misalnya saja teater Bedor (Cianjur), Uyeg (Sukabumi), Banjet (Karawang), Ubrug (Banten), dan sebagainya.
2. Perkembangan Teater Tradisi
Membicarakan teater tradisi di Indonesia tampaknya agak rumit mengingat sejarah perkembangan budaya Nusantara kita yang demikian panjang dan beragam. Jika kita mengacu kepada konsep teater tradisi yang berakar pada sistem religi tertentu, kita akan menemukan setidaknya tiga jenis teater tradisi.
Ketiga jenis teater tradisi tersebut adalah teater tradisi yang mengacu kepada sistem religi asli (masyarakat Animisme dan Dinamisme) yang sering dinamakan sebagai bentuk teater primitif, teater yang mengacu kepada sistem religi Hindu-Budha, dan teater tradisi yang mengacu kepada sistem religi Islam.
Fungsi pokok teater tradisional di Nusantara pada masyarakat religi asli menurut Jakob Sumardjo adalah:
a. pemanggil kekuatan gaib;
b. menjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat terselenggaranya pertunjukan;
c. memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat;
d. peringatan kepada nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan maupun kepahlawanannya
e. perlengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang;
f. pelengkap upacara untuk saat-saat tertentu dalam siklus waktu.
D. Djajakusuma membagi teater tradisional menjadi dua kategori, yakni Teater Orang dan Teater Boneka. Masing-masing kategori ini kemudian dibagi lagi menjadi Teater Istana (Keraton) dan Teater Rakyat.
a. Teater Tradisional Rakyat
Teater tradisional rakyat adalah bentuk-bentuk teater tradisional yang hidup, tumbuh, dan berkembang pada lingkungan masyarakat banyak sesuai dengan lingkup budaya setempat. Bentuk teater tradisi rakyat ini ada yang berasal dari tradisi religi asli dan ada pula yang berasal dari sistem religi Hindu-Budha dan Islam.
Bentuk teater dari sistem religi Hindu-Budha serta sistem religi Islam dapat diduga berasal dari pengaruh budaya keraton yang menyebar di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan bahwa sistem religi Hindu-Budha berkembang dan bersumber dari kehidupan keraton.
Meskipun bentuk-bentuk teater tradisi rakyat ini berasal dari sistem religi tertentu, fungsi pokok dari teater ini telah berubah ke bentuk hiburan yang ditonton secara gratis oleh masyarakat.
Pementasan teater tradisi rakyat ini dilakukan pada acara-acara tertentu seperti pernikahan, kelahiran, khitanan, ruwatan, dan kegiatan lainnya yang dianggap memiliki hubungan dengan sistem religi.
Para pemain serta pendukung teater tradisi rakyat ini pada umumnya adalah masyarakat biasa dan tidak berprofesi sebagai pemain sandiwara. Para pemain ini bermain berdasarkan tradisi pementasan yang telah dikenal secara luas di masyarakatnya.
Unsur teater rakyat yang paling utama adalah cerita, pelaku, dan penonton. Cerita yang disajikan dapat diperpanjang atau diperpendek sesuai dengan respons dan suasana penonton yang terjadi pada saat pementasan. Cerita dibawakan dengan akting (oemeranan) atau dengan menari dan nyanyian. Kostum para pelaku disesuaikan dengan kondisi budaya masing-masing daerah serta zaman yang berkembang pada saat itu.
Beberapa contoh teater tradisional rakyat yang tumbuh dan berkembang di beberapa daerah Nusantara adalah sebagai berikut.
1) Bentuk teater tutur, seperi pada Kentrung (Jawa Timur), Pantun Sunda (Jawa Barat), Dalam Jemblung (Banyumas), Teater Cepung (Lombok), Sinrili (Sumawesi Selatan), Bakaba atau Kaba (Minangkabau), Wayang Beber Pacitan.
2) Bentuk teater orang: seperti pada Ubrug (Banten), Bedor (Cianjur), Uyeg (Sukabumi), Topeng Banjet (Karawang dan Bekasi), Longser (Bandung, Subang, dan sekitarnya), Sintren (Cirebon), Rongeng Gunung (Ciamis), Topeng Blantek (Jawa Barat bagian Selatan), Srandul (Yogyakarta), Kethoprak (Jawa Tengah dan Yogyakarta), Wayang Wong (Yogyakarta), teater Makyong (Riau), Randai (Minangkabau), Topeng Bali, Wayang Gambuh, Ludruk (Jawa Timur), Topeng Betawi, Lenong, dan Samra.
3) Bentuk teater boneka, seperti yang terlihat pada pementasan wayang golek Jawa Tengah, wayang golek purwa versi Sunda, dan wayang kulit.
b. Teater Tradisional Keraton
Berbeda dari tradisi teater rakyat, teater tradisi keraton baru lahir setelah munculnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu di Nusantara.
Kesenian yang muncul dari lingkungan istana kerajaan bersifat profesional. Artinya, kesenian terlahir dari seniman-seniman keraton yang melulu hidup untuk mengembangkan kesenian. Karya-karya yang terlahir dari seniman kalangan istana ini adalah karya-karya yang ’adi luhung’ baik dari segi nilai seninya maupun kandungan isi serta makna religiusnya.
Profesionalisme keraton ini kemudian melahirkan pembakuan-pembakuan tertentu dalam segi pementasan. Pembakuan dengan atura-aturan yang sangat ketat ini diperlukan sebagai standar kualitas seni yang dapat diakui. Pada konteks inilah kesenian tidak lagi berfungsi sebagai media ekspresi,tetapi juga telah berkembang sebagai satu cabang ilmu.
Teater tradisional keraton, atau juga disebut sebagai teater klasik, ditampilkan berupa cerita di hadapan sejumlah penonton oleh para pemainnya dengan menggunakan unsur tari, musik, dan tuturan. Karenanya, perkembangan teater klasik keraton tidak dapat dipisahkan dari perkembangan seni tari, khususnya dramatari, yang telah hidup berkembang lebih dulu.
Bentuk-bentuk dramatari klasik ini terus berkembang sejak periode Hindu-Budha sampai dengan masa kerajaan Islam.
Beberapa contoh bentuk teater klasik yang hingga kini masih dipertahankan keberadaannya adalah wayang boneka (termasuk di dalamnya wayang golek dan wayang kulit), wayang orang, dramatari Langendriya, Langen Mandrawanara, Langen Asmarasupi, dan Langenwiraga.
1. Jenis-Jenis Sastra Drama dan Teater.
Kata teater sekarang lebih dipahami sebagai drama atau segala sesuatu yang berkaitan dengan drama, penulisan, dan acting lakon. Sastra drama erat kaitannya dengan dramaturgi. Dalam perkembangan teater Indonesia, sastra drama merupakan hal yang baru.
a. Sastra Drama Dan Teater Tradisi Nusantara
sastra drama dan teater tradisi di pahami sebagai teater tradisional yang muncul jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka san berkembang di berbagai daerah.
Adapun jenis sastra tradisional yang masih dapat ditemukan, seperti masura dan sinrili ditulis dengan tulisan daerah dan bahasa lama contohnya, arjuna wiwaha karangan empu kanwa di Jawa dan Sunda. Pada masa berikutnya, beberapa pujangga Jawa , seperti dari solo dan Jogjakarta telah menulis buku-buku sebagai pola dan bahan penyajian wayang se malam suntuk. Jenis teater tradisi lain yang terdapat di Nusantara antara lain sebagai berikut.
1). Ketoprak
ketoprak merupakan salah satu jenis kata daerah Jawa (Jogjakarta) yang dulu dikenal dengan ketoprak Ongkek atau sering disebut ketoprak barangan yang hampir setingkat dengan ngamen.
2). Wayang orang
Wayang orang yang merupakan teater tradisi yang terdapat di Jawa, pemetasannya mengambil lakon dalam kisah mahabarata dan Ramayana, wayang orang ini menggunakan sajian tari, jauh sebelum wayang orang muncul, telah muncul wayang kulit yang dikenal dengan wayang kulit purwa Jawa{WKPJ}
3). Randai
Randai merupakan salah satu jenis teater tradisi daerah Minangkabau. Dalam pertunjukannya, selain disampaikan melalui dialog, drama tersebut juga disampaikan melalui dendang atau gurindam. Dalam satu adegan dimungkinkan seorang pelaku mengajak atau meminta komentar penonton, memancing pelaku untuk berakting, atau berdialog. Pertunjukan randai dilakukan dalam bentuk arena, formasi penonton, dan permainan yang disugukan melingkar.
4). Mamanda
Mamanda merupakan salah satu teater tradisi di Kalimantan selatan. Pertunjukan ini disuguhkan dengan busana yang serba gemerlapan, tetapi dengan peralatan permainan sederhana yang bersifat suggestive.
5). Sanghyang
Sanghyang adalah salah satu jenis teater tradisi di bali yang disuguhkan dalam bentuk tari yang bersifat religius dan secara khusus berfungsi sebagai tarian penolak balaatau wabah penyakit.masih banyak teater di bali, seperti teater tari calon Arang,Kecak,Barong,dan Drama Gong yang hampir semuanya bersifat religius.
6). Topeng Bonjet
Topeng bonjet adalah salah satu jenis teater tradisi, yakni sandiwara tradisional yang ada di jawa barat dan banyak terdapat di kerrawang. Seni ini tersusun dari beberapa elemen artistic yang memesona.
b. Sastra Drama Dan Teater Tradisi Mancanegara
Sastra drama dan teater tradisi di mancanegara, khususnya seni drama barat yang memiliki mutu tinggi, terkenal, dan dikagumi dari penulis-penulis kenamaan, antara lain sebagai berikut.
1). Agamemnon, karya penulis Aeschyllus dari Yunani. Pada awalnya, Agamemnon merupkan karya tragedy.
2). Electra, Antigone, dan Oedipus Tyranmus atau Raja Oedipus karya Sopphoeles, penulis tragedy yang terbesar pada masa Yunani kuno.
3). Hamlet, Romeo dan Juliet, dan Raja Lien karya Shakespeare di Inggris. Karya-karya tersebut merupakan karya yang diangkat dari tradisi kebangsaan dan mengetengahkan tema-tema pecintaan yang diakhiri dengan tragedy pembunuhan.
B. Menunjukan Sikap Apresiatif terhadap Unsur Estetis dalam Pertunjukan Teater Tradisional
1. Unsur Estetika dalam Teater Tradisi
Pada umumnya, unsur-unsur pendukung pementasan sebuah teater tradisi terdiri atas cerita atau lakon, pelaku, dan penonton. Untuk mendukung keberadaan ketiga unsur tersebut, dimunculkan sejumlah unsur pendukung estetika pertunjukan seperti berikut ini.
a. Cerita atau lakon yang disusun dan disampaikan secara lisan oleh pimpinan sandiwara kepada para pemainnya dalam bentuk garis besar. Semua pemain harus bisa pengembangkan sendiri garis besar cerita yang telah disampaikan.
b. Properti dan kostum pemain yang meliputi properti badan, tangan, kepala, dan sebagainya.
c. Tata artistik pentas yang sederhana. Biasanya menampilkan satu atau beberapa oncor (alat penerang yang terbuat dari bambu) yang ditata sedemikian rupa di sekitar arena pertunjukan.
d. Unsur musikal pengiring yang biasanya menggunakan alat-alat musik tradisional setempat.
e. Arena permainan berupa teater arena di mana penonton duduk melingkari tempat pertunjukan.
f. Adanya bentuk-bentuk tarian sebelum dan selama pertunjukan yang kadang-kadang terlepas dari kerangka cerita.
2. Karakteristik Teater Tradisi
Berdasarkan perkembangan terakhir dari bentuk pementasan teater rakyat, sejumlah karakteristik dasar pementasan teater rakyat pada umumnya adalah sebagai berikut.
a. Cerita yang disajikan tanpa naskah dan digarap berdasarkan peristiwa sejarah, dongeng, mitologi, atau kehidupan sehari-hari.
b. Penyajian cerita dilakukan melalui dialog, nyanyian, dan tarian.
c. Unsur-unsur lawakan melalui tokoh pelawak (bodor) selalu muncul di sepanjang cerita.
d. Nilai dan laku dramatik dilakukan secara spontan, dalam setiap adegan terdapat dua unsur emosi sekaligus, yakni tertawa dan menangis.
e. Pertunjukan menggunakan tetabuhan atau alat-alat musik tradisional.
f. Penonton mengikuti pertunjukan secara santai dan akrab. Bahkan, sering terjadi munculnya dialog langsung antara pelaku dan penonton.
g. Tempat pertunjukan terbuka dalam bentuk teater arena (dikelilingi penonton).
3. Struktur Pertunjukan Teater Tradisi
Teater tradisi di Nusantara sebagian besar terlahir dari tradisi religi yang pernah hidup pada masa lalu. Sistem religi asli, Hindu-Budha, dan Islam tidak jarang bercampur menjadi satu dalam pementasan seni. Oleh karena itu, struktur pementasan teater tradisi pada umumnya memiliki kesamaan di berbagai tempat di Nusantara ini.
Struktur umum pertunjukan teater tradisi tersebut adalah sebagaimana diuraikan berikut ini.
a. Pertunjukan diawali dengan tetabuhan (tatalu) sebagai pemberi tanda bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Panjang tetabuhan ini bergantung kepada telah berkumpulnya penonton di sekitar tempat pertunjukan.
b. Pimpinan rombongan atau dalang kemudian melakukan upacara ritual memohon perlindungan ke empat penjuru angin. Proses ritual ini dilakukan dengan merapalkan mantera atau rajah serta membakar dupa (kemenyan). Proses ini kadang-kadang menggunakan tarian yang dilakukan sendiri oleh dalang atau pimpinan rombongan.
c. Setelah upacara ritual selesai, muncul serombongan penari yang membawakan tarian-tarian penghibur. Munculnya penari-penari ini menandakan bahwa pertunjukan telah terlepas dari nuansa ritual dan tidak ada hubungannya dengan upacara agama tertentu.
d. Cerita dimulai dengan menyajikan lakon dalam struktur yang linier. Unsur-unsur melodrama kerap menjadi pegangan dalam pertunjukan teater tradisi ini. Cerita ini dibagi dalam beberapa babak atau bagian sehingga terasa panjang.
e. Pada jeda waktu pergantian babak selalu diisi dengan hiburan, seperti nyanyian dan tarian. Pada sejumlah pertunjukan teater tradisi rakyat, bagian ini justru banyak digemari karena pada saat inilah penonton dapat menari bersama penari-penari dengan memberikan sejumlah uang tertentu. Sering terjadi jeda antara babak ini berlangsung cukup lama sehingga pertunjukan keseluruhan lakon dapat berakhir menjelang pagi.
f. Akhir pertunjukan ditutup dengan tarian dan doa ucapan terima kasih. Seluruh pemain biasanya tampil di hadapan penonton untuk mengucapkan terima kasih. Seluruh pertunjukan ditutup dengan tetabuhan kembali seperti awal pertunjukan.
C. Pesan Moral (Kearifan Lokal) dalam Pertunjukan Teater Tradisional
Seni terlahir dari apa yang hidup dan tumbuh di sekitar dan sekeliling kehidupan senimannya: bumi yang dipijaknya, masyarakat di sekitarnya, bangsa dan negaranya, kehidupan sosial politis yang melingkunginya, sejarahnya, semangat, serta cita-cita zamannya. Di dalamnya ia hidup dan menghirup kehidupan.
Ia adalah anak kandung daerah kehidupannya. Setiap hal yang disuarakan dalam suatu karya seni adalah apa yang tumbuh bergejolak dalam lingkungan masyarakatnya melalui pemikiran dan kerja senimannya. Jadi, seniman adalah corong dari masyarakat dan zamannya.
Memang benar bahwa seniman harus memiliki kebebasan sebagai manusia. Tetapi kebebasan yang 100 % bebas hanyalah utopia dan tidak realistis. Kebebasan yang murni dalam seni akan melahirkan ’seni untuk seni’; seniman hanya akan asyik dengan dirinya sendiri dan terlepas dari masyarakat yang menjadi almamaternya. Kebebasan dalam seni sesungguhnya menuntut adanya sebentuk tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri maupun terhadap masyarakat dan zamannya, karena manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan kepada kebenaran dan kebaikan.
Nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan oleh seniman adalah demi kemanusiaan itu sendiri, demi keluhuran kemanusiaan, dan tidak akan pernah ada seniman yang menghendaki kemerosotan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, seni sering berkaitan erat dengan masalah moralitas. Seperti kata Hudson (1913:226) ”art is vitally connected with morality”. Seni yang sejati hanya bisa tumbuh atas kewajaran dan kejujuran; jujur menurut kenyataan jiwanya, dan wajar menurut kenyataan situasi dirinya serta lingkungannya.
Sebagai karya seni, teater pun memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan serta pemasalahan manusia. Aspek-aspek kejiwaan, masalah sosial, keagamaan, metafisika, politik, dan hak-hak azasi manusia merupakan daerah pembicaraan drama. Dan aspek-aspek inilah yang sesungguhnya menjadi visi dan esensi drama. Dalam menangkap visi (pesan atau amanat) yang terdapat dalam drama ini, pembaca atau penonton drama dituntut memiliki wawasan yang memadai di bidang-bidang ilmu lain yang berkaitan dengan tujuan senimannya.
Permasalahan yang diangkat dalam kehidupan dan pertunjukan teater sangatlah beragam. Banyak masalah dan tema yang dikemukakan oleh sutradara serta penulis lakon yang diwujudkan melalui teater. Persoalan perjuangan manusia, masalah sosial dan kemanusiaan, masalah cinta dan percintaan, masalah kejiwaan dan penyimpangan psikis, masalah dakwah keagamaan, hingga ke masalah-masalah metafisik dan filsafat. Jika kita sadar, maka pemasalahan-permasalahan seperti itulah yang sesungguhnya menjadi ruh atau esensi sebuah pertunjukan teater.
Thanks for reading & sharing Kamar Pekick
0 komentar:
Post a Comment