Filsafat Bahasa adalah ilmu gabungan antara linguistik dan filsafat. Ilmu ini menyelidiki kodrat dan kedudukan bahasa sebagai kegiatan manusia serta dasar-dasar konseptual dan teoretis linguistik. Filsafat bahasa dibagi menjadi filsafat bahasa ideal dan filsafat bahasa sehari-hari.
Filsafat bahasa ialah teori tentang bahasa yang berhasil dikemukakan
oleh para filsuf, sementara mereka itu dalam perjalanan memahami
pengetahuan konseptual. Filsafat bahasa ialah usaha para filsuf memahami
conceptual knowledge melalui pemahaman terhadap bahasa.
Dalam rangka mencari pemahaman ini, para filsuf telah juga mencoba
mendalami hal-hal lain, misalnya fisika, matematika, seni, sejarah, dan
lain-lain. Cara bagaimana pengetahuan itu diekspresikan dan
dikomunikasikan di dalam bahasa, di dalam fisika, matematika dan
lain-lain itu diyakini oleh para filsuf berhubungan erat dengan hakikat
pengetahuan atau dengan pengetahuan konseptual itu sendiri. Jadi, dengan
meneliti berbagai cabang ilmu itu, termasuk bahasa, para filsuf
berharap dapat membuat filsafat tentang pengetahuan manusia pada
umumnya.
Letak perbedaan antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah
linguistik bertujuan mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Linguistik
mencari hakikat bahasa. Jadi, para sarjana bahasa menganggap bahwa
kejelasan tentang hakikat bahasa itulah tujuan akhir kegiatannya,
sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat
pengetahuan konseptual. Dalam usahanya mencari hakikat pengetahuan
konseptual itu, para filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan
akhir, melainkan sebagai objek sementara agar pada akhirnya dapat
diperoleh kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual itu.
Perhatian Para Filosof terhadap bahasa
Masalah kebahasaan yang sering dibahas oleh para filsuf biasanya
berkisar pada hubungan antara simbol dan arti. Pembahasan mereka agak
sukar untuk disistematikakan. Secara garis besar, pemikiran itu dapat
digambarkan sebagai berikut :
Metafisika
Metafisika ialah bagian filsafat yang berusaha memformulasikan fakta
yang paling umum dan paling luas, termasuk penyebutan kategori-kategori
yang paling pokok atas pengelompokan hal dan benda dan gambaran saling
hubungan mereka. Di dalam metafisika ini, maka dapatlah filsuf-filsuf
seperti Plato dan Aristoteles mencoba memahami bahasa. Sebagai misal,
dalam bukunya Republik Plato berkata, “Manakah sejumlah orang
menyebut kata yang sama, kita berasumsi bahwa mereka itu juga memikirkan
ide yang sama”. Jadi kalau orang-orang menggunakan kata yang sama
seperti rumah dan pohon, maka Plato beranggapan bahwa di dalam masyarakat memang ada kesatuan ide seperti rumah dan pohon itu. Kalau tidak begitu, maka tidak mungkinlah beberapa orang yang berlainan menggunakan kata-kata yang sama itu.
Di dalam buku Metaphysics, Aristoteles menulis “... Kita boleh bertanya apakah kata-kata seperti berjalan, duduk, sehat itu ada. Bukankah yang ada itu ialah pekerjaan ‘berjalan, duduk, atau sakit’.
Kegiatan itu dianggap lebih nyata karena ada sesuatu yang pasti yang
mendasarinya, yaitu benda atau orang....” Dalam hal ini, Aristoteles
mulai dengan kenyataan bahwa orang tidak menggunakan kata kerja kecuali
berhubungan dengan subjek yang dalam hidupnya memang menjalankan
pekerjaan-pekerjaan seperti berjalan, duduk, dan sakit. Dari kenyataan
ini, Aristoteles berkesimpulan bahwa benda itu mempunyai keberadaan yang
lebih bebas dari kata kerja, benda itu lebih pokok daripada kegiatan.
Pada akhir abad 19, seorang Filsuf Jerman, Meinong, berkata bahwa
setiap tutur yang bermakna di dalam kalimat tentulah mempunyai referent
(acuan). Kalau tidak, maka tutur itu tidak akan bermakna, sehingga
tentulah istilah itu ada benda acuannya. Kalau benda acuan itu tidak
dapat dilihat di sekitar kita, maka tentulah benda itu ada dengan cara
keberadaan yang lain.
Pada abad dua puluh ini, ada aliran filsafat yang disebut logica atomism.
Tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain ialah Bertrand Russel dan
Ludwig Wittgenstein. Berkenaan dengan hal ini, Russel berkata antara
lain : ”...di dalam simbolisme yang benar dan logis, antara fakta dan
simbol yang melambangi fakta itu tentulah terdapat struktur yang
beridentitas jelas. Kekompleksitasan simbol tentu menyerupai
kekompleksitasan fakta yang dilambanginya.”
Dalam hal ini, Russel mengisyaratkan bagaimana sebaiknya bahasa itu.
Bahasa yang benar dan logis seharusnya dapat melambangi secara jelas apa
saja yang ada di dalam alam sekitar kita.
Logika
Ada cabang filsafat lain yang menaruh perhatian pada bahasa. Cabang itu sering disebut logika. Logika ialah studi tentang inference
(kesimpulan-kesimpulan). Logika berusaha menciptakan suatu kriteria
guna memisahkan inferensi yang sahih dari yang tidak sahih. Karena
penalaran itu terjadi dengan bahasa, maka analisis inferensi itu
tergantung kepada analisis statement-statement yang berbentuk
premis dan konklusi. Studi tentang logika membukakan kenyataan bahwa
sahih dan tidaknya informasi itu tergantung kepada wujud statement yang mengandung premis dan konklusi. Adapun yang dimaksud dengan wujud ialah jenis istilah yang terkandung di dalam statement dan juga cara bagaimana istilah itu disusun menjadi statement.
Epistemologi
Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan menaruh perhatian kepada
bahasa dalam beberapa aspek, terutama dalam masalah pengetahuan a priori,
yakni pengetahuan yang dianggap sudah diketahui tanpa didasarkan pada
pengalaman yang sudah dialami secara nyata. Sebagai misal ialah
pengetahuan manusia dalam hal matematika. Pengetahuan matematika ini
memusingkan para filsuf. Bagaimana kita tahu bahwa 7 ditambah 8 selalu
ada 15? Salah satu jawabnya bahwa makna masing-masing istilah yang
terpakai di dalam perhitungan matematika itu memang sudah kita anggap
benar, tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Hal inilah yang mendatangkan
tanda tanya pada diri para filsuf. Bagaimana istilah itu dapat mempunyai
makna dan bagaimana statement itu juga dapat mempunyai makna dengan hanya mendasarkan bahwa istilah yang terpakai itu punya makna.
Reformasi Bahasa
Para filsuf juga tertarik untuk memperbaiki bahasa. Bahasa seharusnya
diperbaiki karena kegiatan keilmuan para filsuf boleh dikatakan
tergantung kepada pemakaian bahasa. Di lain pihak, telah banyak keluhan
dari sarjana di berbagai bidang bahwa bahasa yang mereka pakai
mengandung banyak kelemahan.
Keluhan para filsuf terhadap kelemahan bahasa terwujud dalam beberapa
bentuk. Sebagai misal, Plotinus dan Bergson menganggap bahwa bahasa itu
tidak cocok untuk dipakai sebagai dasar formulasi kebenaran yang
fundamental. Menurut pendapat mereka, orang akan dapat memahami
kebenaran hanya kalau mereka itu menyatu dengan kenyataan dan tanpa
bahasa. Paling-paling bahasa hanya mampu menggambarkan kebenaran itu
dengan gambaran yang bengkok.
Jadi, dalam hal ini, ada dua pandangan yang berbeda terhadap bahasa ini. Pertama,
pandangan yang mengatakan bahwa bahasa itu masih dapat berfungsi untuk
menjadi sarana pengantar filsafat. Akan tetapi, dalam pengalaman
pemakaian ini tidak baik, karena si pemakai sendirilah yang salah. Si
pemakai menyimpang dari cara pemakaian bahasa yang baik dan yang benar,
tanpa memberikan makna apa-apa terhadap penyimpangan yang mereka
lakukan. Dalam kelompok ini terdapatlah misalnya orang-orang seperti
Locke dan Ludwig Wittgenstein. Locke tidak menyukai jargon scholastik.
Wittgenstein berkata bahwa kebanyakan masalah yang timbul dalam
pembicaraan filsafat berasal dari kenyataan bahwa para filsuf
menggunakan terminologi (istilah) secara menyimpang, berlainan dengan
makna yang sebenarnya.
Orang-orang dari kelompok kedua berpendapat bahwa bahasa yang kita
pakai sehari-hari ini memang kurang kuat, kurang cermat, kurang memenuhi
syarat, kurang sesuai untuk dipakai sebagai sarana pengantar filsafat.
Bahasa kita itu samar, tidak eksplisit (tidak lugas), mengandung
keraguan (ambigu), kurang mandiri atau suka tergantung pada konteks (context dependent)
dan sering menimbulkan salah paham. Di dalam kelompok ini terdapatlah
orang-orang seperti Leibniz, Russel, dan Carnap yang menginginkan
timbulnya suatu bahasa buatan manusia yang lebih sesuai untuk filsafat.
Bahasa buatan manusia itu perlu diusahakan agar kelemahan-kelemahan yang
ada di dalam bahasa alamiah dapat dikoreksi.
Aturan-aturan terpokok suatu bahasa
Bahasa yang digunakan dalam uraian kefilsafatan terdiri dari
seperangkat istilah dan seperangkat pernyataan yang dibentuk dari
istilah-istilah tertentu ditambah dengan istilah-istilah lain dalam
maknanya yang lazim, yang diambilkan dari bahasa yang digunakan oleh
sang filsuf (misalnya bahasa Inggris). Suatu bahasa yang lengkap terdiri
dari seprangkat istilah dan tiga perangkat aturan.
Perangkat aturan pertama bersifat semantik. Aturan-aturan ini
menerangkan hubungan antara ungkapan-ungkapan bahasa dengan hal-hal yang
ditunjukkan. Aturan-aturan tersebut dapat dibagi lebih lanjut sebagai
berikut :
- Aturan-aturan pembentukan. Aturan-aturan ini menerangkan kapankah seperangkat tanda menunjukkan suatu pertanyaan. Misalnya, ada aturan : “Bila ada ungkapan yang terdiri dari suatu kata benda, kata kerja ‘adalah’, dan suatu kata sifat, maka hasilnya akan berupa suatu pernyataan.”
- Aturan-aturan yang melukiskan apakah yang ditunjuk oleh macam-macam tanda tertentu. Aturan-aturan ini mengatakan bahwa kata-kata benda menunjukkan orang, tempat, atau barang, dan bahwa sebutan menunjukkan ciri-ciri.
- Aturan-aturan yang melukiskan bilamanakah suatu pernyataan dikatakan mengandung ‘kebenaran’. Aturan-aturan ini dapat memberikan batasan pengertian mengenai hubungan kebenaran. Misalnya, pernyataan sederhana seperti “Saya merasa dingin,” dikatakan benar jika, dan hanya jika, saya sungguh-sungguh merasa dingin.
Perangkat aturan kedua bersifat pragmatis. Aturan-aturan ini
menerangkan latar istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan yang
bersifat kejiwaan, emosional, geografik, dan sebagainya. Misalnya nama
‘Tuhan’ senantiasa dipakai dengan perasaan hormat.
Perangkat aturan ketiga bersifat sintaksis. Aturan-aturan ini
menerangkan cara-cara menyimpulkan ungkapan-ungkapan berdasarkan
ungkapan-ungkapan yang lain dengan jalan perubahan bentuk. Misalnya,
jika (1) ‘p’ dan (2) ‘p’ meliputi ‘q’, maka (3) dapatlah disimpulkan
‘q’. Yang tersangkut dalam hal ini ialah aturan-aturan logika, definisi
bukti, dan sebagainya.
Standarisasi (Pembakuaan)
1. Arti standardisasi
Bahasa standar (baku) timbul ketika beberapa masyarakat yang terpisah
merasa ada keperluan untuk saling berhubungan. Bahasa baku atau dialek
baku ialah bahasa atau dialek yang dipilih oleh anggota berbagai
masyarakat untuk saling berkomunikasi. Bahasa standar ialah bahasa yang
dianggap betul oleh masyarakat pemakainya. Bentuk dan pemakaian bahasa
baku ini menjadi model percontohan bagi seluruh rakyat.
Di samping menyesuaikan diri kepada orang yang diajak bercakap,
seseorang penutur bahasa biasanya akan mencoba menyesuaikan diri dengan
bentuk dan pemakaian bahasa yang terpakai secara luas di masyarakat.
Dalam praktek penggunaan bahasa, tarik-menarik antara bahasa standar
dengan bahasa yang digunakan secara akrab ini berjalan terus-menerus.
2. Fungsi standardisasi
Pertama-tama, bahasa baku berfungsi sebagai semacam lingua franca
di dalam masyarakat yang menggunakan bermacam-macam dialek. Dengan
bahasa standar ini, orang dari berbagai daerah dapat saling berhubungan
dengan baik. Sebagai misal, orang dari Temburung dapat berkomunikasi
dengan baik dengan orang dari Seria. Orang dari Aceh dapat saling
berhubungan dengan orang dari Bali, Manado, atau dari Irian Jaya.
Karena orang dari masyarakat lain itu biasanya belum dikenal secara
akrab, maka sebaiknyalah bahasa yang dipakai itu bersifat sopan. Jadi,
kalau dialek memancarkan nuansa arti akrab, maka bahasa baku memancarkan
nuansa arti sopan santun. Jadi, di samping berfungsi sebagai lingua franca
di dalam masyarakat dari berbagai macam dialek, bahasa baku juga
berfungsi sebagai pengantar kesopan-santunan. Bahasa baku harus dapat
dipakai untuk menyampaikan hal-hal dalam suasana yang santun.
Selanjutnya, bahasa baku juga berfungsi untuk mengendalikan laju
perubahan dialek-dialek yang tumbuh. Bahasa baku yang mempunyai martabat
yang tinggi, disenangi oleh masyarakat pemakainya, biasanya dapat
memperlambat lajunya perubahan yang dialami oleh dialek-dialek.
3. Bentuk standardisasi
Ragam bahasa yang santun biasanya jelas dan lengkap. Ucapannya harus
jelas. Komponen wacananya lengkap dan logis, dan tidak berputar-putar.
Karena tuntutan kejelasan inilah, maka biasanya bahasa baku itu bersifat
kaya (elaborated) dan mempunyai aturan tata bahasa yang ketat.
Aturan sintaksis, aturan morfologi, aturan fonologi, dan aturan
semantiknya stabil dan ketat. Bentuk dan aturan yang ada tidak boleh
digunakan semau-maunya dan tidak boleh mudah berubah. Di samping itu,
pola kalimatnya, pola morfo-sintatiknya, pola fonologinya, dan juga
perbendaharaan katanya kaya. Dalam hal ini, bahasa baku berbeda dengan
dialek-dialek yang tidak standar, karena dialek yang tidak standar itu
relatif miskin (restriced) dan kondisifikasinya longgar. Apapun boleh dikatakan, asal si lawan bicara tahu maksud kita.
4. Tempat standardisasi
Bahasa yang terpakai di pusat kebudayaan biasanya terpilih menjadi
bahasa standar ini. Pusat kerajaan biasanya menggunakan bahasa standar.
Mungkin saja di pusat kebudayaan inilah yang amat memerlukan bahasa yang
sopan dan yang dapat dipakai untuk mengantarkan segala pesan secara
jelas. Di pusat kerajaan berbagai orang dari berbagai masyarakat bertemu
membicarakan berbagai masalah. Pembicaraan itupun biasanya dijalankan
dalam suasana resmi dan penuh dengan rasa sopan santun.
Itulah sebabnya, maka sekarang ini ragam bahasa yang dipakai di pusat
negeri biasanya terpakai sebagai ragam bahasa baku. Ibukota negara
seperti Jakarta, London, Bangkok, Bandar Seri Begawan, dan lain-lain
menjadi tempat di mana bahasa baku berkembang. Di Jawa, untuk bahasa
Jawa, bahasa yang dipakai di pusat kesultanan di Yogyakarta dan
Surakarta pun menjadi bahasa standar.
Fungsi Bahasa
Pada kenyataannya, fungsi yang harus disandang oleh bahasa tidak
hanya satu macam. Karena hal inilah maka sukar bagi para filosof untuk
mematoki bahasa sebagai alat komunikasi yang akurat, satu simbol
melambangi satu makna, satu makna dilambangi satu simbol.
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa beserta variasi-variasinya antara lain ialah sebagai berikut :
1. Register sebagai Penyampai Maksud
Dikatakan bahwa bahasa ialah alat untuk berkomunikasi. Berkomunikasi
pada dasarnya ialah menyampaikan maksud. Maksud itu ada bermacam-macam,
ada yang bersifat instinctive dan ada juga yang sangat bersifat manusiawi. Yang bersifat instinctive ialah komunikasi seperti yang dijalankan hewan, yang biasanya bersifat emotive
(berseru, mengelu, menyatakan rasa lega, meneriakkan perintah atau
larangan). Yang bersifat manusiawi ialah komunikasi yang berbentuk
bertanya, menjawab, memberitahu, menanggapi.
2. Ragam sebagai Penyampai Rasa Santun
Masyarakat yang hanya mempunyai satu bahasa menggunakan ragam tutur
untuk membedakan situasi yang resmi, tak resmi, indah, dan sakral. Dalam
keadaan santai, ragam informal dipakai. Dalam suasana resmi, ragam
formal dipakai. Dalam situasi yang indah romantis, ragam susastra
digunakan. Dalam situasi sakral, ragam sakral dipakai.
Ragam formal sering berbentuk sama dengan apa yang dinamakan bahasa baku atau ragam bahasa standar.
Ragam informal kadang-kadang terdiri dari dialek bahasa yang sama,
tetapi yang bukan baku. Kadang-kadang juga, ragam informal itu terdiri
dari “penyantaian” bahasa standar itu. Kata-katanya sering tidak
diucapkan secara penuh, aturan tata kalimatnya sering tidak ketat,
kata-kata yang teknis sering diganti dengan kata-kata yang umum saja.
(Poedjosoedarmo, 1978).
Kepekaan anggota masyarakat dalam menggunakan masing-masing variasi
ini mencerminkan kepekaan masyarakat terhadap aturan sopan santunnya.
Ragam tutur yang wujudnya ditentukan oleh peristiwa percakapan,
sebaliknya mengatur anggota masyarakat agar memperhatikan pemakaian
ragam itu dan memperhatikan berbagai peristiwa tutur yang berbeda-beda.
Memperhatikan cara penggunaan ragam tutur menjadikan anggota masyarakat
peka terhadap adanya situasi bicara yang berbeda-beda. Dengan kata lain,
adanya ragam tutur ini masyarakat dibuat peka dan dipaksa untuk menaati
aturan sopan santun. Masyarakat tidak boleh menggunakan ragam tutur
semaunya sendiri dalam bercakap di berbagai situasi dan peristiwa
percakapan.
3. Tingkat Tutur sebagai Penyampai Rasa Hormat
Di dalam masyarakat, orang yang satu harus berhubungan dengan orang
yang lain. Orang lain ini barangkali ayahnya sendiri, adiknya,
tetangganya, teman sekelasnya, kenalan baru, atau orang lain yang
kebetulan berpapasan di jalan. Di dalam relasi ini, orang dituntut
menentukan sikapnya, yaitu akan menganggap lawan tutur sebagai orang
yang perlu dihormati atau tidak. Orang lain itu perlu dipastikan dalam
jaringan hubungannya dengan si penutur. Kalau dia adalah orang yang
seharusnya kita hormati, maka harus kita hormatilah dia. Kalau orang itu
tidak kita hormati, maka akan marahlah dia, atau akan marahlah orang
lain kepada kita.
Bahasa biasanya mempunyai cara-cara untuk menyatakan rasa hormat atau
tidak hormat kepada orang lain. Ada masyarakat yang menganggap sudah
cukup untuk menyampaikan rasa hormat itu dengan cara berelasi yang
berjarak, tetapi ada masyarakat lain yang menyatakan relasi hormat itu
dengan kode bahasa yang khusus. Yang pertama bertutur bahasa secara
biasa, sedangkan yang kedua memerlukan istilah honorific (hormat) untuk menyampaikan perasaan hormat itu.
4. Idiolek sebagai Penanda Identitas Diri
Setiap pribadi, karena keadaan fisik dan kejiwaan bahasa yang unik,
bahasa mempunyai idioleknya sendiri-sendiri. Walaupun aturan sintaksis,
morfologi, dan fonologi itu seragam, tetapi setiap orang mempunyai gaya
bicaranya masing-masing. Setiap orang mempunyai kecenderungannya
sendiri-sendiri di dalam memilih dan menggunakan berbagai cara
mengucapkan bunyi. Setiap orang mempunyai keanehan-keanehannya sendiri
di dalam cara membentuk kata dan kalimat, cara menaati sopan santun
bahasa dan memilih ragam dan tingkat tutur, cara mengacu kepada orang
yang dipercakapkannya, cara mengorganisasi wacananya, cara menyalurkan
isi kejiwaannya. Tentu saja setiap pribadi itu sangat dipengaruhi oleh
idiolek-idiolek lain yang menjadi idolanya. Idiolek itu mencoba meniru
idiolek-idiolek yang lain. Akan tetapi, bagaimana pun dia itu ialah
pribadi yang unik sehingga pada akhirnya idiolek itu pun berwujud lain
dari yang lainnya. Mungkin kelainan itu terletak misalnya hanya pada
warna suara dan salah satu kebiasaan ucapan bunyi /r/ nya, atau cara
menghubungkan kalimat pengandaian, atau di dalam mengatur cara
menyampaikan permintaan. Atau, perbedaan antara individu itu mungkin
menyangkut perbedaan dalam kebiasaan memakai beberapa segi kebahasaan
sekaligus. Bagaimanapun, di dalam kenyataannya, setiap pribadi di muka
bumi ini biasanya mempunyai cara bertutur yang sedikit berlain-lainan
antara yang satu dengan yang lainnya.
Kalau hal ini dibalik, dapatlah dikatakan bahwa idiolek yang
berlain-lainan itu sebetulnya dimiliki oleh pribadi yang berlain-lainan
pula. Dengan kata lain, idiolek yang berlain-lainan itu dapatlah dipakai
untuk mengidentifikasi pribadi orang yang berlain-lainan pula. Dengan
kata lain, sesuatu variasi bahasa itu dapat dipakai untuk menjadi
tandanya seseorang individu. Kalau individu itu sabar, maka akan
tercerminlah kesabaran itu di dalam idioleknya. Kalau individu itu
peramah, maka akan tercerminlah keramahan itu di dalam idioleknya. Kalau
individu seorang yang pemberani, maka akan tercermin di dalam cara
bicaranyalah sifat keberanian itu, dst.
5. Dialek dan Rasa Solidaritas
Kalau identitas seseorang individu ditandai oleh idiolek, maka
identitas kelompok anggota masyarakat tertentu ditandai oleh dialek.
Dalam masyarakat bilingual atau multilingual, kelompok itu bahkan
ditandai oleh bahasa.
Bahasa atau dialek memang dapat dipakai untuk menandakan dari mana
seseorang berasal. Segi apanyakah yang dapat dipakai sebagai tanda itu?
Segi cara mengucapkan bunyi-bunyi konsonan atau vokal atau intonasi
kalimatnya. Mungkin juga perbedaan dalam bentuk kata serta istilah yang
terpakai. Ada juga perbedaan dalam idiom atau ungkapan-ungkapan
tertentu. Atau perbedaan dalam strategi bercakap secara keseluruhannya.
Kecuali sebagai penanda asal usul seseorang, dialek atau bahasa juga
dapat dipakai untuk mendapatkan rasa solidaritas, rasa senasib dan
sepenanggungan oleh para penggunanya di hadapan orang dari kelompok
masyarakat lain. Sebagai contoh, kalau sewaktu di negeri lain kita
berjumpa orang dari daerah kita, rasanya seperti berjumpa dengan saudara
sendiri, walaupun sebetulnya orang lain itu belum pernah kita lihat
sebelumnya. Di Jakarta, pegawai-pegawai di pusat pemerintahan biasanya
merasa senang melayani orang yang datang dari daerah seasal. Mereka
senang melayani orang yang bercakap dengan dialek atau bahasa yang sama
dengannya. Mengapa begitu? Karena dirasanya orang-orang itu seperti
keluarganya sendiri.
Mengapa dialek atau bahasa yang sama dapat menimbulkan rasa
solidaritas? Sebabnya ialah karena dialek atau bahasa yang sama itu
adalah milik penutur bersama. Bukan saja milik mereka bersama, tetapi
hasil kreasi mereka bersama. Anggota masyarakat bukan saja secara
bersama menggunakan dialek atau bahasa itu, melainkan juga menghasilkan
inovasi-inovasi secara bersama dan melupakan hal yang tak perlu secara
bersama. Siapakah yang menjadikan dialek itu berbeda dengan dialek yang
lain kalau bukan seluruh anggota masyarakat dalam kawasan dialek atau
bahasa itu. Dialek itu timbul dan tenggelam karena ulah bersama seluruh
anggota kelompok masyarakat, dan gunanya memang hanya dinikmati oleh
seluruh anggota kelompok masyarakat itu. Dari satu segi, dialek atau
bahasa dapat dipersamakan dengan anak kandung, dan anggota masyarakat
sebagai suami-isteri. Dialek atau bahasa itu ialah “hasil karya”
orang-orang yang menjadi anggota kelompok masyarakat. Maka dari itu,
dialek atau bahasa itu dapat menjadi pengikat rasa solidaritas
orang-orang dalam kelompok itu. Rasa solidaritas ini tampak kuat pada
waktu kelompok itu menghadapi orang luar.
6. Standarisasi sebagai Penopang Rasa Kemandirian
Berhubungan erat dengan fungsinya sebagai pemupuk rasa solidaritas,
bahasa juga dapat dipakai sebagai alat penunjang rasa kemandirian
bangsa. Suatu bangsa biasanya mempunyai bahasa sendiri untuk
mengekspresikan dirinya tanpa didikte oleh bangsa lain. Bahasa yang
tersendiri ini diperlakukan, karena bangsa itu biasanya memiliki
segi-segi kehidupan yang khusus, yang tak dimiliki oleh bangsa lain.
Bangsa itu mungkin mempunyai sistem pemerintahannya sendiri; mungkin
mempunyai adat-istiadat yang berbeda dengan bangsa lain yang mana pun;
mungkin mempunyai agama dan kehidupan kesenian yang khas; mungkin
mempunyai cara-cara menyelesaikan perkara secara lain, dst. Kesemuanya
itu ada lambang-lambangnya sendiri. Karena inilah, maka biasanya bahasa
yang dimilikinya lain dari bahasa yang lainnya.
Rasa kemandirian ini biasanya ditentukan oleh pemilikan bahasa yang
mempunyai standarnya sendiri. Kalau si bangsa itu mempunyai bahasa yang
bermartabat tinggi di negerinya sendiri, maka bangsa itu biasanya juga
merasa menjadi tuan di negerinya sendiri. Tetapi, kalau bahasa yang
dipakainya itu hanyalah dialek dari bahasa lain, maka bangsa itu sering
merasa tergantung pada bangsa yang memiliki bahasa yang ada standarnya
itu. Bangsa itu kurang berdikari dalam berbagai segi kehidupannya.
Bangsa itu kurang dapat membanggakan pencapaiannya sendiri.
Sebetulnya, yang terpenting di dalam rasa kemandirian ini ialah
adanya kebebasan bangsa itu di dalam menentukan standar bahasa itu,
sistem tulisnya, tata kalimatnya, idiom-idiomnya, nilai-nilai kesopanan
serta keindahan di dalam bahasa itu, dan selanjutnya dapat memakai
bahasa itu secara natural untuk mengekspresikan diri dan menciptakan apa
saja yang ingin mereka ciptakan tanpa berkiblat pada bangsa yang mana
pun.
Jadi, bahasa itu mungkin seasal dengan bahasa yang dimiliki oleh
bangsa lain. Akan tetapi, asal saja bangsa itu bebas di dalam menentukan
segala-galanya, maka bahasa yang dimilikinya itu pun sudah mencukupi
sebagai alat untuk menopang rasa kebebasannya. Akan tetapi, sebaliknya,
kalau aturan gramatika dari bahasa itu ditentukan oleh bangsa lain,
karena bahasa itu memang asalnya ialah milik bangsa lain itu, maka rasa
kebebasan itu pun tidak ada. Kalau aturan dan nilai-nilai ditentukan
oleh bangsa lain, maka rasa mandiri dengan sendirinya tidak ada.
7. Genre sebagai Pengaman Kejiwaan
Melalui variasi bentuknya yang sesuai dengan warna perasaan yang ada
pada seseorang individu, bahasa juga dapat dipakai sebagai penyalur
tekanan jiwa. Dalam hidupnya, seseorang individu sering dirundung
perasaan yang berat, pikiran yang mendalam, serta keinginan mengerjakan
sesuatu yang keras. Kalau saja hal-hal yang merundung itu dapat
diekspresikan, kadang-kadang orang lalu merasa lega. Tekanan perasaan
dan yang lainnya pun menjadi berkurang. Tetapi sebaliknya, kalau hal itu
tidak dikatakan kepada orang lain, kalau hanya ditahan saja di dalam
diri sendiri, letupan emosi yang keras pun dapat timbul.
Segi apakah yang menjadi penyalur tekanan pikiran dan perasaan itu?
Segi ekspresinya. Manakala bahasa itu dapat dituturkan sesuai dengan
pikiran atau perasaannya, maka tuturan itu pun telah melaksanakan
fungsinya sebagai penyalur perasaan dan pikiran itu.
8. Bahasa sebagai Cermin Kebudayaan
Ada pepatah bahasa Melayu yang berbunyi bahasa menunjukkan bangsa.
Maksudnya antara lain ialah bahwa kesopanan yang terkandung di dalam
bahasa itu sering mencerminkan tingginya peradaban suatu bangsa, atau
tingginya martabat seseorang.
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa ada beberapa hal dari bahasa
itu yang dapat dipakai untuk menandai maju dan mundurnya kebudayaan
suatu bangsa. Perbendaharaan unsur fonologi dan morfosintaksis kiranya
tak dapat dipakai sebagai cermin kemajuan kebudayaan itu. Tetapi
perbendaharaan kata dan idiom jelas mencerminkan ide dan
pengalaman-pengalaman yang pernah dan sedang dihayati oleh suatu bangsa.
Di samping perbendaharaan kata, berbagai variasi tutur seperti ragam,
dialek, tingkat tutur, register khusus, genre dan tata format yang ada
di dalam bahasa itu pun dengan baik mencerminkan apa yang dialami oleh
bangsa di dalam berbagai segi kehidupannya.
Ragam tutur mencerminkan adat sopan santun bangsa sehubungan dengan
sikap-sikapnya terhadap berbagai peristiwa dan situasi bicara. Dialek
mencerminkan kelompok-kelompok masyarakat yang membentuk bangsa itu.
Tingkat tutur mencerminkan adat sopan santun sehubungan dengan berbagai
status sosial yang dimiliki oleh anggota masyarakatnya. Register khusus
mencerminkan materi yang biasanya dipercakapkan oleh bangsa itu dan juga
maksud dan kehendak yang biasanya dikomunikasikan dan dihayati oleh
bangsa. Format cara bertutur mencerminkan berbagai sarana tutur yang
dimiliki oleh bangsa. Selanjutnya, genre mencerminkan berbagai emosi yang biasanya terpancar dari diri para penuturnya.
Dengan mengamati bahasa yang digunakan oleh masyarakat, biasanya
dapatlah kita gambarkan seberapa perkembangan peradaban masyarakat
pemilik bangsa itu.
- Harimurti Kridalaksana (2008). Kamus Linguistik (edisi ke-Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-3570-8.
- Alih bahasa : Soejono Soemargono,Louis O. Kattsoff,. (2004). Pengantar filsafat. Tiara Wacana. Yogya. ISBN 979-8120-01-9.
- Poedjosoedarmo, S. (2001). Filsafat bahasa. Muhammadiyah University Press. Surakarta. ISBN : 979-636-024-1.
Thanks for reading & sharing Kamar Pekick
0 komentar:
Post a Comment